Laman

Sabtu, 07 Mei 2011

Konservasi Situs Perahu Punjulharjo




Sebagai masyarakat negara bahari, kita harus memandang penting temuan perahu di Punjulharjo mengingat kontribusinya pada sejarah transportasi laut yang masih gelap

CICERO, filsuf pada masa Romawi (106-43 SM) menyatakan, ’’historia vitae magistra’’ yang berarti ’’sejarah adalah guru kehidupan’’. Dalam konteks itu, perahu konon salah satu alat transportasi tertua di dunia. Namun hingga saat ini belum diketahui secara pasti sejarah atau asal usulnya.

Padahal bukti-bukti arkeologis tentang perahu banyak diungkap, baik dalam bentuk lukisan atau gambar di dinding gua purba, juga digambarkan dalam buku kuno atau bukti arkeologis yang ditemukan dari waktu ke waktu di berbagai belahan dunia. Bukti itu termasuk penemuan perahu kuno di Desa Punjulharjo, Kecamatan Rembang Kota, Kabupaten Rembang, pada 26 Juni 2008.

Temuan perahu kuno di tanah milik H Masykuri, warga Punjulharjo, disebut-sebut yang terlengkap di Asia Tenggara karena kondisi fisiknya relatif utuh. Keadaan itu berbeda dari  temuan perahu lainnya, yang sebagian besar dalam bentuk potongan kayu atau sisa yang sulit menggambarkan bentuk aslinya. Biasanya situs semacam itu ditemukan di dasar laut sehingga menyulitkan arkeolog untuk meneliti dan mengidentifikasinya.

Temuan di Punjulharjo itu yang lokasinya di daratan, sekitar 500 meter dari garis pantai itu menarik perhatian kalangan arkeolog, baik dari dalam maupun luar negeri, seperti Profesor Pierre-Yves Manguin, arkeologi maritim dari Prancis. Termasuk arkeolog dan pakar dari Balai Arkeologi Yogyakarta, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3), Fakultas Sejarah Undip serta UGM, dan sebagainya. Peneliti dari Concervation Science Laboratorium World Heritage Studies Program Universitas Tsukuba Jepang juga tertarik dengan temuan tersebut.

Penemuan perahu kuno berukuran 16 x 4 meter itu ramai diberitakan media massa sehingga situs purbakala tersebut dikunjungi banyak orang, bahkan dari luar kota. Beberapa orang memercayai air yang ada di dalam perahu temuan itu bertuah, bisa menyembuhkan berbagai penyakit dan dapat dijadikan tolak bala di rumah atau di sawah/tegalan, misalnya untuk mengusir hama.

Atas permintaan Pemkab Rembang, ahli dari BP3 meninjau dan menyatakan bahwa perahu tersebut sebagai benda cagar budaya sesuai UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Setelah ada pernyataan itu, dilakukan berbagai penelitian, kajian, seminar, dan lokakarya, yang dilakukan pihak terkait dan melibatkan sejumlah pakar.

Terakhir ada pertemuan di Balai Desa Punjulharjo yang dihadiri ahli dari BP3, UGM, Balai Arkeologi, Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, dan Kades Drs Nursalim.

Pertemuan itu menyimpulkan bahwa hal paling mendesak yang harus dilakukan adalah  melakukan konservasi atas perahu itu. Forum menyepakati konservasi dilakukan di lokasi situs.
Menjadi Lapuk Mereka juga merekomendasikan kepada Pemkab Rembang dan pemerintah pusat, khususnya Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, termasuk pihak swasta yang memiliki kepedulian terhadap temuan purbakala.

Termasuk membiayai konservasi sekaligus membangun embrio kawasan wisata bahari di Punjulharjo. Namun hingga saat ini belum ada satu pihak pun memberi statemen menyangkut anggaran.
Beberapa arkeolog menyatakan perahu itu memiliki daya tahan terbatas, meski dari kayu pilihan. Disebutkan, kayu terdiri tiga atas unsur karbohidrat, nonkarbohidrat, dan ekstratif, dan masing-masing komposisinya berbeda sehingga keawetannya pun berbeda-beda. Terlebih perahu itu diperkirakan sudah lama terbenam di dalam tanah yang juga berair.

Memang ada gagasan untuk ’’merumahkan’’ perahu itu. Namun problemnya bila perahu diangkat maka air pada pori-pori dan sel kayu akan hilang dan perahu mengering, bahkan rusak. Sebenarnya Pemkab akan membuatkan rumah pelindung dan perahu tetap ditempatkan di dalam air, tapi itupun berisiko seandainya perahu diangkat maka sel-selnya akan mengering dan lapuk.

Sebagai masyarakat negara bahari, kita harus memandang penting temuan itu mengingat kontribusinya pada sejarah transportasi laut (maritim) yang sampai saat ini masih gelap. Mengingat pentingnya situs tersebut, penanganannya pun harus segera dilakukan, tepat, dan terpadu. Senyampang ada waktu untuk bertindak, kenapa tidak dilakukan. Semua itu untuk anak cucu kita. 

oleh : A. Daryono (jurnalis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar